Tuesday, February 16, 2010

7 Pendekatan Belajar

1. Belajar sebagai petualangan
Belajar dapat menjadi hal yang sangat membosankan dan tidak menyenangkan, inilah yang pada akhirnya terjadi jika kita memandangnya dari sudut pandang yang salah. Terlebih lagi hal inilah yang menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam belajar. Jika saja kita memandang dan menilainya sebagai hal yang sangat menyenangkan, maka saat-saat belajar akan menjadi sangat menyenangkan dan menjadi saat-saat yang selalu dinantikan.
Sebagaimana seorang anak kecil yang sedang belajar bersepeda, pada awalnya ia akan terjatuh beberapa kali, mungkin karena kehilangan keseimbangan atau terlalu gugup untuk mengkayuh pedalnya. Ketika ia bisa bertahan diatas sepedanya, melaju untuk beberapa menit dan kemudian terjatuh untuk kesekian kalinya, anak itu akan segera bangkit dan mulai menaiki sepedanya kembali. Mengapa ia melakukannya lagi? Bukankah ia sudah, atau mungkin, akan terluka lebih parah jika ia jatuh lagi? Jawabannya sangatlah sederhana. Anak itu menganggap belajar menaiki sepeda sebagai ‘petualangan’. Ia menikmati apa yang sedang dilakukannya, setiap kali ia terjatuh, ia mempelajari mengapa ia sampai terjatuh dan mencoba untuk tidak mengulanginya kembali, ia melatih keseimbangannya, kekuatan dan ketangkasan motoriknya, dan amat terlebih ia sedang bersenang-senang!
Memiliki semangat belajar seperti anak kecil yang selalu ingin tahu dan tidak menganggap kegagalan sebagai alasan untuk berhenti belajar atau menjadi antipati terhadap kegiatan belajar, pastilah menyenangkan. Anak kecil tidak memperdulikan pendapat yang terlontar terhadap kegagalan mereka, mereka lebih berfokus terhadap kemampuan yang mereka punya dan dapatkan dalam proses belajar mereka. Lalu bagaimana dengan orang dewasa, seperti anda dan saya? Jangan khawatir! Orang dewasa juga bisa melakukannya, semuanya berpulang kepada diri anda sendiri, apakah anda mau melakukannya?

2. Gunakan inderamu!
Mana yang menurut anda lebih efektif?
(a). Belajar mengenai pemberian cairan intravena dikelas, mendengarkan penjelasannya dari seorang dosen yang ahli dan dengan melihat slide-slide yang penuh warna.
(b). Belajar mengenai pemberian cairan intravena dikelas, mendengarkan penjelasannya dari seorang dosen yang ahli dan dengan melihat slide-slide yang sarat dengan ilustrasi nyata mengenai prosedur pemberian cairan intravena dan anda di ijinkan untuk bertanya bila ada hal yang anda tidak mengerti.
(c). Belajar mengenai pemberian cairan intravena dikelas, mendengarkan penjelasannya dari seorang dosen yang ahli dan dengan melihat slide-slide yang sarat dengan ilustrasi nyata mengenai prosedur pemberian cairan intravena, anda diberikan kesempatan untuk mempraktikannya dan bertanya bila ada hal yang anda tidak mengerti.
Saya yakin anda memilih pilihan (c) sebagai proses belajar yang paling efektif, bukan begitu? Tidak ada yang salah dengan pilihan (a) dan (b), sebagai mahasiswa perawat yang mempelajari tentang pemberian cairan intravena, mendengarkan penjelasan dari dosen yang menguasai bidang tersebut sangatlah menyenangkan terlebih lagi bila media pengajaran yang digunakan tidak membosankan. Tetapi hal tersebut masih belum cukup, proses belajar anda tidak boleh berhenti hanya dengan ‘mendengar dan melihat’, anda perlu mengolah semua indera anda untuk sungguh-sungguh belajar.
Cottrell (1999:4) menjelaskan bahwa ketika anda ‘memperkerjakan’ indera (penglihatan, pendengaran, sentuhan) dan menggunakan kemampuan motorik halus (melihat, berbicara, menulis, mengetik, menggambar atau menggerakan anggota tubuh) saat anda sedang belajar, sesungguhnya otak anda sedang memperoleh kesempatan untuk menerima dan mengolah informasi yang diterima melalui indera yang sedang bekerja. Semakin banyak dan semakin sering anda memanfaatkan fungsi indera yang anda miliki, maka akan semakin besar kemampuan otak anda dalam melakukan asosiasi dan mengkaitkan satu informasi dengan informasi yang lainnya. Dengan demikian, akan sangat mudah bagi anda untuk memanggil kembali informasi-informasi yang telah anda simpan sebelumnya ketika anda belajar.

3. Hal yang menarik dalam belajar
Mahasiswa Y sangat pandai dalam pelajaran Biologi, ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam mata pelajaran tersebut. Ia menghabiskan berjam-jam waktunya untuk membaca dan memahami fungsi organ tubuh manusia. Sebaliknya ia tidak menyukai pelajaran Kimia, menurutnya mempelajari Kimia adalah suatu kesia-siaan dan nilainya dalam mata pelajaran ini sangat rendah.
Anda bisa berkata bahwa mahasiswa Y mendapat nilai yang memuaskan pada Biologi karena ia banyak menghabiskan waktunya untuk belajar Biologi. Terpikirkah anda bahwa ia menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari Biologi karena ia menyenangi pelajaran tersebut? Ia telah mampu melihat hal yang menarik dari mempelajari Biologi. Sebaliknya, ketidaksukaannya terhadap Kimia (ia mungkin merasa tidak ada yang menarik dari pelajaran tersebut) membuatnya lemah dan nilai yang ia dapatkan sangatlah rendah.
Akan sangat mudah bagi anda untuk mempelajari atau melakukan hal yang anda senangi. Tujuan menjadi sangat jelas dan terarah, dan tentu saja, akan menjadi menyenangkan. Tetapi anda tidak bisa menyukai segalanya, akan selalu ada penolakan-penolakan terhadap hal-hal yang kurang berkenan dihati anda. Jika demikian apa yang harus dilakukan? Ijinkan saya untuk menjawabnya dengan menyelesaikan kisah tentang mahasiswa Y.
Menyadari pentingnya lulus dengan nilai yang baik dipelajaran Kimia, mahasiswa Y mulai berusaha untuk mencoba memandang pelajaran tersebut seperti halnya ia memandang Biologi. Ia mulai menyadari bahwa kehidupannya dikelilingi oleh hal-hal yang berkaitan dengan Kimia. Kemanapun ia mengarahkan pandangannya, ia melihat Kimia, mulai dari oksigen yang ia hirup sampai dengan warna merah dari pemulas bibir yang melekat pada bibirnya. Akhirnya, saat-saat mempelajari Kimia menjadi sangat menyenangkan dan menantang baginya, ia telah menemukan hal yang menarik dalam mempelajari Kimia!
Anda memiliki kekuatan untuk menemukan hal yang menarik, dengan berbagai aspek yang berbeda, ketika anda sedang mempelajari sesuatu hal yang baru. Bagaimana anda memberikan atribut terhadap hal yang anda pelajari akan mempengaruhi minat dan kemampuan belajar anda. Coba bayangkan dalam pikiran anda bahwa anda sedang menikmati saat-saat belajar (pelajaran yang anda anggap sulit) dan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dan orang-orang disekeliling anda berlomba-lomba mengucapkan selamat pada anda. Bukankah hal itu menyenangkan? Saya sama sekali tidak menyinggung tentang teori sugesti disini, tetapi, ketika anda benar-benar telah membayangkan diri anda seperti tersebut diatas, maka otak anda akan menyimpannya sebagai memori dan ‘berputar’ keras untuk bisa mewujudkannya.

4. Gunakan metode active learning
Perubahan metode pengajaran dari Teacher-centered menjadi student-centered learning menuntut keaktifan dari anak didik dalam proses belajar. Oleh karena itu, keberhasilan anak didik, dalam konteks ini mahasiswa, sangat bergantung pada dirinya sendiri. Sebagai mahasiswa anda harus memiliki keaktifan dan kemandirian dalam belajar, mengaplikasikan metode active learning dalam proses pembelajaran dilembaga pendidikan tersier adalah suatu keharusan.
Saat anda menggunakan metode belajar ini, sesungguhnya anda sedang belajar dengan melakukan pemahaman yang sangat mendalam terhadap hal yang anda pelajari. Melalui metode ini pula, anda secara aktif terlibat dalam pengolahan informasi, proses pemahaman informasi yang telah diterima, menganalisa perbedaan informasi (baik yang baru anda terima maupun yang sudah terekam dalam memori anda), membuat keputusan dan mengkaitkan informasi-informasi yang ada.
Tentu saja, untuk bisa mengaplikasikan metode belajar ini sepenuhnya, memerlukan waktu dan penyesuaian. Terus menerus mencoba (‘berpetualang’) dengan memanfaatkan semaksimal mungkin indera dan kemampuan yang anda miliki dan didukung oleh keterbukaan untuk melihat dan menerima hal yang menarik dari metode ini akan membuahkan hasil yang baik, bahkan, jauh melampaui harapan anda.

5. Bertanggung jawablah!
Perguruan tinggi atau universitas pada umumnya akan menganggap bahwa anda sudah memiliki kemampuan yang baik mengenai hal-hal mendasar yang menunjang proses perkuliahan anda. Kemampuan tersebut antara lain; menulis laporan tertulis berupa essay, laporan praktik laboratorium, proposal; membaca textbook, jurnal, statistic dan diagram; berbicara formal baik menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa asing; dan kemampuan lainnya. Sebagai seorang mahasiswa anda diharapkan untuk bertanggung jawab terhadap pembelajaran anda.
Salah satu bentuk sikap bertanggung jawab yang dapat anda lakukan diawal perkuliahan adalah mengikuti kegiatan Pengenalan Program Studi dengan baik, sebab disanalah kesempatan anda untuk bisa mempersiapkan diri lebih baik lagi sebelum akhirnya anda mengikuti perkuliahan. Dengan persiapan yang baik, segala sesuatunya pasti akan berjalan dengan baik pula. Pastikan bahwa anda sudah siap!

6. Percayalah pada kemampuanmu!
Sekarang ini anda pasti sedang merasakan kekhawatiran dalam diri anda (besar atau kecil); anda khawatir tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik karena latar belakang pendidikan di sekolah menengah atas (SMA) yang anda lalui berbasis ilmu sosial, sedangkan untuk menjadi seorang professional tenaga kesehatan, yang anda percaya, haruslah berbasis ilmu pengetahuan alam. Atau, anda khawatir karena anda merasa nilai-nilai yang anda dapatkan selama menempuh pendidikan di SMA selalu berada direntang rata-rata (saya harap rata-rata baik), dan anda mulai ketakutan karena sepertinya hal tersebut akan terjadi kembali pada anda.
Duduk disebelah anda, seorang mahasiswa (berasal dari kelas IPA SMA Maju Berkarya) mengenakan kacamata dengan tumpukan buku disisi tas besarnya, ia terus menerus menatap dosen yang sedang memberikan presentasi, tak sekalipun anda melihat ia mengedip! Luar biasa bukan? Anda bukan satu-satunya orang yang sedang khawatir! Setiap mahasiswa akan merasakan kekhawatiran disetiap awal perkuliahan, kekhawatiran ini, jika tidak diatasi, akan menjadi penghalang yang sangat besar bagi mereka untuk mencapai kesuksesan (mengikuti perkuliahan dengan baik, mampu mengerjakan tugas dengan baik, lulus dengan nilai yang baik-sukses!).
Ketahuilah bahwa banyak sekali mahasiswa-mahasiswi yang sukses di perguruan tinggi, sebelumnya hanyalah siswa-siswi dengan nilai rata-rata ketika mereka masih duduk dibangku SMA. Satu hal yang harus anda lakukan saat ini adalah mengumpulkan-memupuk-mempertahankan kepercayaan terhadap kemampuan yang anda miliki dan meyakinkan diri anda sendiri bahwa anda bisa seperti mereka, bahkan, lebih baik. Jika anda percaya, saya yakin anda pasti bisa!

7. Kenali gaya belajarmu
Masing-masing individu mempunyai cara atau gaya belajarnya sendiri, walaupun demikian, banyak pula yang memiliki kesamaan. Banyak ahli yang mencoba untuk mengelompokan orang melalui cara belajarnya; tipe pembelajar visual (belajar melalui melihat), kinestetik (belajar dengan mempraktikan atau mengulangi gerakan), auditory (belajar melalui mendengar), dan masih banyak lagi. Sangat penting bagi anda untuk tidak memasukan diri anda dalam kungkungan satu tipe atau gaya belajar yang anda yakini. Apa yang ingin saya sampaikan disini adalah, akan lebih baik bagi anda jika anda mengetahui dan mencoba tipe atau gaya belajar lainnya yang dapat berkontribusi dalam gaya belajar dominan anda.
Otak manusia sangat mampu untuk melakukan adaptasi (percayalah!), ketika anda memilih atau menggabungkan beberapa gaya belajar sesuai dengan kebutuhan belajar anda, maka otak anda akan ‘menyesuaikan’ fungsinya. Hasilnya, anda tidak hanya menjadi seorang mahasiswa yang memiliki nilai yang baik tetapi juga seorang pembelajar sejati.

Referensi
Cottrell, Stella.1999. “The Study Skills Handbook”. New York: Palgrave.


read more...

ABRAHAM MASLOW




Siapakah Abraham Maslow?

Dikalangan profesi keperawatan nama Abraham Maslow sungguh sangat tidak asing lagi. Tetapi siapakah sebenarnya Abraham Maslow?

Abraham Maslow adalah seorang psikolog beraliran humanistik. Ia melahirkan sebuah hirarki yang menjabarkan kebutuhan dasar manusia yang kemudian ia bagi menjadi lima tingkatan, The Hierarchy of Human Needs. Ia dilahirkan di Brooklyn pada 01 April 1908 sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dan dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang merupakan imigran Yahudi dari Rusia. Sebagai anak imigran yang berasal dari keluarga Yahudi, ia tidak mengalami indahnya masa kecil ataupun bermain dengan teman sebayanya disekolah. Ia pernah berkata “Pada saat itu, saya hanyalah anak Yahudi kecil yang berada dilingkungan bukan Yahudi, hampir sama seperti seorang anak negro yang bersekolah di sekolah orang kulit putih. Saya sangat terisolasi dan tidak bahagia. Saya tumbuh diperpustakaan dan diantara buku-buku, tanpa teman”.

Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Mungkin itu pula sebabnya ia meninggalkan studi hukumnya di City College of New York dan beralih mempelajari psikologi. Ia mendapatkan gelar Bachelor (1930), Master (1931) dan PhD (1934) di bidang psikologi di University of Wisconsin, disini pula ia bertemu dengan Profesor Hary Harlow yang kemudian menjadi mentornya. Ketika di Universitas ini, ia melakukan penelitian tentang perilaku dominan dan seksualitas primata, kemudian penelitian tersebut ia lanjutkan di Columbia University, dimana ia bertemu dengan Alfred Adler (salah seorang pengikut awal Sigmund Freud) yang kemudian menjadi mentornya pula.

Selama 14 tahun (1937-1951) Maslow bekerja sebagai pengajar di Brooklyn College. Pada periode ini ia bertemu dengan beberapa orang intelektual Eropa yang pada saat itu berimigrasi ke Amerika Serikat, Brooklyn khususnya. Ia bertemu dengan dua orang yang ia sebut sebagai “wonderful human beings” di New York, mereka adalah Ruth Benedict yang merupakan antropolog dan Max Wertheimer seorang psikolog yang menganut aliran Gestalt. Maslow sangat mengagumi dua individu ini sehingga ia membuat catatan-catatan atas observasi yang ia lakukan terhadap perilaku dan kehidupan mereka. Catatan-catatan ini pula yang pada akhirnya menjadi landasan pemikiran baginya untuk melakukan penelitian mengenai kesehatan mental dan potensi yang dimiliki oleh manusia. Ia banyak menulis mengenai subjek tersebut, ia meminjam ide-ide dari psikolog lain namun tidak memasukannya begitu saja, ia justru memberikan banyak sekali tambahan terhadap ide-ide tersebut terutama konsep hirarki kebutuhan dasar manusia, meta needs, aktualisasi diri, dan peak experiences.

Hasil pemikiran Maslow atas observasi dan penelitian yang ia lakukan membuat dirinya semakin mantap menjadi psikolog aliran humanistik, ia bahkan menjadi pemimpin dari sekolah-sekolah psikologi aliran humanistik yang bermunculan pada tahun 1950an sampai 1960an. “Third Force”, begitu ia sebut aliran humanistik, merupakan tentangan terhadap aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Maslow mempunyai pemikiran yang sangat murni dan berbeda dari psikolog-psikolog lain yang pada saat itu lebih berfokus pada abnormalitas dan penyakit. Ia mengembangkan sebuah psikologi yang berkaitan dengan potensi terbaik dan tertinggi yang dimiliki oleh manusia, hingga pada tahun 1967 ia dinobatkan sebagai “Humanist of The Year” oleh The American Humanist Association.

Abraham Maslow menjadi Profesor psikologi di Brandeis University pada tahun 1951 sampai dengan 1969. Ia kemudian menghabiskan masa pensiunnya di California dan wafat pada usia 62 tahun karena serangan jantung pada tanggal 08 Juni 1970, setahun setelah ia mengalami penyakit tersebut.

Referensi
A.H. Maslow, A Theory of Human Motivation, Psychological Review 50(4) (1943):370-96.
^ Maslow, Abraham (1954). Motivation and Personality.New York:. Harper. p. 236.
^ Maslow, A.H. (1971). The farther reaches of human nature. New York: Penguin Compass. Chpt 3, "Self-actualizing and beyond", p. 41.

read more...

Causes of Autism

Introduction

Since the first time it was identified as a disease, which is categorically different from schizophrenia, enormous studies have been carried out to identify the causes of autism. Scientists have been attempting to obtain the best answer of what causes autism. They come up with results, hypothesis, speculations, which some of them are quite veritable, but yet appear to be flaw and incomplete. For instance, economists from the Cornell University, who carried out a study on autism, presented their controversial research result to public and clearly stated that TV is the cause of autism (Easterbrook 2006, pp.1-3).



Issues on autism are very interesting. Moreover, the arguments about autism amongst scientists from different backgrounds have always been grabbing people’s attention. Autism spectrum disorders is defined as developmental disabilities, which includes classic autism, Asperger’s disorder and other specific conditions that can be grouped with it by The Centers for Disease Control and Prevention in The US (Berg 2009,p.14). Derived from its definition, children that are autistic, undergo disabilities on their social and cognitive behaviour, affection and communication. Berg (2009, p.14) claims that “The severity of the condition varies greatly, as does the exact constellation of symptom”. Perhaps this is also one of the reasons why autism seems to be such a bulky puzzle that is very difficult to solve.

What are the definite causes of autism? Which has the biggest influence on causing it? Is autism mainly because of genetic disorders? Related to these questions, this paper essentially aims to discuss the causes of autism. Each causes can be considered as pieces of the big puzzle of autism that will construct the big picture of it. The discussion is based on a review of several articles which present causes of autism from a different point of view and backgrounds.

Pieces of the Autism Puzzle

Since its early exposure as a pandemic, autism incidents have been associated with vaccination. People believed to studies that correlated figures of vaccination given to children and figures of autism, which at that moment appeared to be very logical and interrelated. Berg (2009, p.15) explains that “The case against vaccines is sometimes based on the presence of mercury in thimerosal, a compound used as a preservative in some vaccines”. Research proved that mercury has an effect on causing brain damage which potentially can cause autism. Thus, if a child is vaccinated, he or she is at risk of becoming autistic.

The long debate of vaccine and autism was not only because of thimerosal, but also its substances. Berg (2009, p.15) stated that “One CDC-funded study has also considered the possibility that the measles virus in the MMR vaccine might lead to autism by causing a persistent intestinal measles infection”. The thimerosal issue and the study about MMR somehow converge into the idea that vaccination is causing autism.

Numerous research have been done to provide evidence on the definite link between vaccine and autism, but the outcome arrived on the scene was the opposite. Even more so, although the suspected substances in vaccines were excluded, the autism incidents have continued to increase (Easterbrook 2006, p.1). In addition, Allen (2005, p.1) also claims that “four perfectly good studies comparing large population of kids have showed that thimerosal did not cause the increased reporting of autism”. This fact, then, somehow become a basis for scientists to continue to search other pieces of autism puzzle.

A controversial research done in California, Oregon, Pennsylvania and Washington State by researchers from Cornell University proved that autism increased in areas that also have a high frequency of TV cable viewing. The researchers analyzed the growth of cable TV access and autism rates in a 17 years period in California and Pennsylvania and they concluded that the approximate 17 percent increase in autism in both areas was due to the increase in the viewing of cable TV. Furthermore, supported by the studies carried out by The Bureau of Labor Statistics on behavior, the study also found that in counties that have high precipitation the incidents of autism are high as well.

However, it was difficult for other scientist to admit that The Cornell study has traced out new clue, that widespread autism occurrence was a consequence of an excessive exposure from certain objects on children, and TV viewing might be the answer. The researchers, who are economists, accused to disregarded essential factors that can cause autism and the rise in autism incidents. As stated by Wallis (2006, pp.1-2), the measurement used in the research was wild and indirect because the data were weather reports and subscriptions of cable TV. Furthermore, the fact that the researchers ignored the need for an exact measurement on TV viewing frequency, led Wallis to call the results “oddly definitive conclusions” (Wallis 2006, p.2).

Prompted by its complicated traits as a disease, scientists have always been scrutinizing on genetics and neurobiology aspects. Michael Cuccaro, a psychiatrist from Duke University who specializing in autism, stated that “It was thought we could identify the causes if we could understand those connections, but we’re still left searching for causes. There was a missing piece of the puzzle, which was the environment.” (Cuccaro 2004 quoted in Parsell 2004, p.311). It is quite an ease knowing and grasping the theory that environment also plays a role in autism. Perceptibly, environment is comprised of many factors which have their own predisposition to cause autism. In terms of environment, scientists also included fetal or the womb environment during pregnancy rather than postnatal environment solely.

A pediatric neurologist, Zimmerman, thinks that contribution from the environment influences the fetal development by disturbing its normal growth and may ended causing autism (Parsell 2004, p.311). As instance, Parsell (2004, p.311) mentioned Beth Crowell, a mother of triplet autistic children, as an example of the possibility that autism can be triggered since pregnancy. Crowell strongly believes that terbutaline has a possibility to cause her children became autistic. Her claim was considered as reasonable because an investigation carried out by researchers has shown that there is a connection between terbutaline and incidence of autism. However, Connor stated the alteration of fetus neurodevelopment which may lead to autism can also be triggered by factors derived from the pregnant mother herself and the most possible factor is hormones (Connor 2004 in Parsell 2004, p.312).

Conclusion

In Conclusion, stating that there is an association between internal and external factors which eventually cause autism is still an inadequate hypothesis, because there are gaps in between that need to be elucidated. However, Julie Daniels, an assistant professor at the University of North Carolina Gilling School of Global Public Health, wrote a statement which published as an editorial in one of the health journals, “There are probably many combinations of genes and environmental factors that contribute to the constellation of autistic traits” (Daniels 2006 quoted in Berg 2009, p.16).

As there are always differences in every case of autism suffered by an autistic child, diverse sign, symptom, degree, certainly there is also specific cause of it, which in many cases independently related only to the case. Although currently scientists have identified many factors that trigger or cause autism, still, to construct them solidly as the definite cause is unfeasible. There is no distinctive or trivial factor in the pieces of autism puzzle, they are affecting each other, scattered and remaining to be solved in the future.

References

Allen, Arthur. 2005,’ Sticking Up for Thimerosal’, retrieved 28 July 2009, .

Berg, Rebecca. 2009, ‘Autism-An Environmental Health Issues After All?’, Journal of Environmental Health Vol. 71 Number 10, June, p.14-18. Available: http://proquest_1732150551[1].pdf

Christakis, D.A., Zimmerman, F.J., DiGiuseppe, D.L., & McCarty, C.A. 2004, ‘Early Television Exposure and Subsequent Attentional Problems in Children’, Pediatrics Vol. 113, April, pp. 708-713.

Easterbrook, G. 2006, ‘TV Really Might Cause Autism. A Slate exclusive: findings from a new Cornell study, retrieved 22 July 2009, .

Parsell, Diana. 2004, ‘Assault on Autism’, Science News. Vol. 166, Iss. 20, November, p. 311-312.

Wallis, C. 2006,’Does Watching TV Cause Autism?’, retrieved 28 July 2009, .


read more...

Monday, February 8, 2010

ISOLASI SOSIAL ; MENARIK DIRI


PENDAHULUAN

Kesehatan jiwa menurut Undang – Undang No. 23 Tahun 1992 pasal 24 ayat 1 adalah kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa sehat secara optimal baik untuk intelektual maupun emosional, dan menurut pasal 24 ayat 2 adalah kesehatan jiwa meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan jiwa, pencegahan dan penanggulangan. Masalah psikososial dan gangguan jiwa, penyembuhan dan pemeliharaan penderita gangguan jiwa dan didalamnya Undang – Undang kesehatan No. 3 tahun 1966 mendefinisikan sehat jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik intelektual dan emosional yang optimal dan seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.

Ketidak mampuan individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Satu diantaranya adalah isolasi sosial : Menarik diri, supaya dapat mewujudkan jiwa yang sehat, maka perlu adanya peningkatan jiwa melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif agar individu dapat senantiasa mempertahankan kelangsungan hidup terhadap perubahan – perubahan yang terjadi pada dirinya maupun pada lingkungannya.

PENGERTIAN

Hubungan Sosial
Hubungan sosial adalah hubungan untuk menjalin kerjasama dan ketergantungan dengan orang lain (Stuart and Sundeen, 1998).

Kerusakkan Interaksi Sosial
Kerusakkan interaksi sosial adalah suatu kerusakkan interpersonal yang terjadi akibat kepribadiuan yang tidak flesibel yang menimbulkan perilaku maladaptif yang mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial (Depkes RI, 2002 :114).

Isolasi Sosial : Menarik Diri
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Mary C. Rownsendl, 1998 : 152).
Menarik diri adalah suatu sikap dimana individu menghindari dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain (RSJ, 1996).

RENTANG RESPON SOSIAL

Manusia sebagai makhluk sosial adalah memenuhi kebutuhan sehari – hari, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada hubungan dengan lingkungan sosialnya. Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya menimbulkan respon – respon sosial pada individu.
Rentang respon sosial individu berada dalam rentang adaptif sampai dengan maladaptif.

Respon Adaptif
Yaitu respon individu dalam penyesuaian masalah yang dapat diterima oleh norma – norma sosial dan kebudayaan, meliputi :

a. Solitude (Menyendiri)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yng telah dilakukan di lingkungan sosialnya, dan merupakan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah – langkah selanjutnya.
b. Autonomy (Kebebasan)
Respon individu untuk menentukan dan menyampaikan ide – ide pikirandan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Mutuality
Respon individu dalam berhubungan interpersonal dimana individu saling memberi dan menerima.
d. Interdependence (Saling Ketergantungan)
Respon individu dimana terdapat saling ketergantungan dalam melakukan hubungan interpersonal.

Respon Antara Adaptif dan Maladaptif
a. Aloness (Kesepian)
Dimana individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan tersisihkan dari lingkungan.
b. Manipulation (Manipulasi)
Hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan bukan pada orang lain.
c. Dependence (Ketergantungan)
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai tidak memperhatikan kemampuan yang dimilikinya.

Respon Maladaptif
Yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma – norma sosial dan budaya lingkungannya.
a. Loneliness (Kesepian)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain atau tanpa bersama orang lain untuk mencari ketenangan waktu sementara.
b. Exploitation (Pemerasan)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang selalu mementingkan keinginannya tanpa memperhatikan orang lain untuk mencari ketenangan pribadi.
c. Withdrawl (Menarik Diri)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang menentukan kesulitan dalam membina hubungan saling terbuka dengan orang lain, dimana individu sengaja menghindari hubungan interpersonal ataupun dengan lingkungannya.
d. Paranoid (Curiga)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya pada orang lain.

ETIOLOGI

Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan sendiri terabaikan.

TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala menarik diri adalah menarik diri, tidak ada perhatian, tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain, berat badan menurun atau meningkat secara drastis, kemunduran kesehatan fisik, tidur berlebihan, tinggal ditempat tidur dalam waktu yang lama, banyak tidur siang, kurang bergairah, tidak memperdulikan lingkungan, kegiatan menurun, immobilisasi, mondar – mandir, melakukan gerakan secara berulang dan keinginan seksual menurun. (Depkes, 1996)

DAMPAK MENARIK DIRI TERHADAP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai dampak gangguan interaksi sosial menarik diri terhadap kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow.
Kebutuhan Fisiologis
Klien dengan interaksi sosial menarik diri kurang memperhatikan diri dan lingkungannya sehingga motivasi untuk makan sendiri tidak ada. Klien kurang memperhatikan kebutuhan istirahat dan tidur, karena asyik dengan pikirannya sendiri sehingga tidak ada minat untuk mengurus diri dan keberhasilannya.

Kebutuhan Rasa Aman
Klien dengan gangguan interaksi menarik diri cenderung merasa cemas, gelisah, takut dan bingung sehingga akan menimbulkan rasa tidak aman bagi klien.

Kebutuhan Mencintai dan Dicintai
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri cenderung memisahkan diri dari orang lain.

Kebutuhan Harga Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan mengalami perasaan yang tidak berarti dan tidak berguna. Klien akan mengkritik diri sendiri, menurunkan dan mengurangi martabat diri sendiri sehingga klien terganggu.

Kebutuhan Aktualisasi Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan merasa tidak percaya diri, merasa dirinya tidak pantas menerima pengakuan dan penghargaan dari orang lain dan klien akan merasa rendah diri untuk meminta pengakuan dari orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Arif Manjoer, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jiwa. Jakarta.
Departemen Kesehatan Jiwa RI. 2002. Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan di Indonesia III. Jakarta.
Dorland. 1998. kamus Saku Kedokteran. EGC : Jakarta.
Harold I Kaplan MD., Benjamin J., Sadock MD.,jack A. Grebb MD. 1994. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Jilid Satu dan Dua.
Keliat, Budi Anna, dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Keperawatan Jiwa. 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Maramis, W.F. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Universitas Airlangga.
Standar Asuhan Keperawatan Jiwa dan Kesehatan Jiwa. 2000. Rumah Sakit Jiwa Bandung.
Stuart G. Wand Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing.
Towsend Mary C. 1998. Diagnosa keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri Edisi 3. Alih Bahasa Novi Elena C. Daulima. Jakarta : EGC.


read more...

Sunday, February 7, 2010

Mengapa Menjadi Perawat ?

Banyak alasan bagi anda untuk menjadikan perawat sebagai profesi seumur hidup. Alasan-alasan tersebut tentu saja bersifat sangat mulia dan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi sebelumnya, sudah sadarkah anda bahwa menjadi seorang perawat berarti anda siap untuk bekerja keras dan dalam waktu yang bersamaan menghadapi paparan berbagai macam penyakit terhadap diri anda; memberikan perhatian dan pertolongan bagi orang lain yang membutuhkan tidak hanya beberapa jam dalam sehari tetapi 24 jam dalam seminggu; hal ini berarti kehilangan banyak hari-hari libur dan beberapa hari penting dalam hidup anda demi menjalankan profesi anda; dan bekerjasama dengan berbagai macam tim kesehatan yang terkadang lebih bersikap sebagai lawan daripada sebagai kawan bagi anda? Jika hal-hal tersebut tidak menjadi ancaman bagi anda, saya rasa anda sudah lulus di test permulaan untuk menjadi perawat, selamat!

Profesi perawat berfokus dalam memberikan asuhan keperawatan kepada orang lain yang membutuhkannya. Tujuan dari asuhan keperawatan yang paripurna adalah agar pasien memperoleh dan mempertahankan kondisi atau derajat kesehatan yang optimal seiring dengan meningkatkan kemampuan pasien dalam melaksanakannya secara mandiri. Perawat dapat dikatakan sebagai komunitas kontemporer yang mempunyai peran penting ditengah-tengah masyarakat. Perawat mendukung masyarakat dengan cara memberikan pendidikan dan informasi kesehatan, konsultasi kesehatan dan melaksanakan praktik keperawatan untuk membebaskan pasien dari penderitaan rasa sakit, dan hal ini dilakukan oleh perawat bagi masyarakat atau pasien dari segala rentang usia baik di area klinik maupun non klinik.

Ketika anda memutuskan untuk menjadi seorang perawat, pastikan bahwa hal tersebut anda putuskan dengan matang dan bukan semata-mata mewujudkan impian masa kecil anda untuk menjadi perawat yang senantiasa memakai seragam putih, kap diatas kepala dan bekerja membantu sesama yang membutuhkan pertolongan dengan senyum yang menawan. Untuk menjalani profesi sebagai perawat dibutuhkan sejumlah besar dedikasi dan devosi yang mendalam karena perlu disadari bahwa perawat bukanlah sekedar jenis pekerjaan, tetapi profesi yang melekat dalam diri anda, bahkan seumur hidup anda!


read more...